“Tuhan sudah mati. Tuhan tetap mati. Dan
kita telah membunuhnya. Bagaimanakah kita, pembunuh dari semua pembunuh,
menghibur diri kita sendiri? Yang paling suci dan paling perkasa dari semua
yang pernah dimiliki dunia telah berdarah hingga mati di ujung pisau kita
sendiri. Siapakah yang akan menyapukan darahnya dari kita? Dengan air apakah
kita dapat menyucikan diri kita? Pesta-pesta penebusan apakah,
permainan-permainan suci apakah yang perlu kita ciptakan? Bukankah kebesaran
dari perbuatan ini terlalu besar bagi kita? Tidakkah seharusnya kita sendiri
menjadi tuhan-tuhan semata-mata supaya layak akan hal itu [pembunuhan Tuhan]?”
Nietzsche, Die fröhliche Wissenschaft, seksi 125 (Wikipedia)
Maksud dari Nietzsche di atas adalah:
“Tuhan sudah mati” tidak boleh ditanggapi secara harfiah, seperti
dalam “Tuhan kini secara fisik sudah mati”; sebaliknya, inilah cara
Nietzsche untuk mengatakan bahwa gagasan tentang Tuhan tidak lagi mampu untuk
berperan sebagai sumber dari semua aturan moral atau teologi.
Saya tidak bermaksud membunuh Tuhan dan saya juga tidak bermaksud
menjelaskan lebih jauh mengenai kematian Tuhan ini, tapi saya ingin menarik
sebuah substansi dari aforisme Nietzsche, bahwa tak ada yang abadi di dunia
ini, kecuali perubahan. Pemikiran ini merupakan turunan dari pemikiran
Heraklitos, “panta rhei kai uden menei” (semuanya mengalir dan tidak ada sesuatupun yang tinggal
tetap). Menurut Herakleitos, tidak ada satu pun hal di alam semesta yang
bersifat tetap atau permanen. Tidak ada sesuatu yang betul-betul ada, semuanya berada di dalam proses menjadi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar